Senin, 17 November 2008

Lamongan Harusnya Punya Ambulance Banjir

Sebagai daerah yang rawan terkena bencana banjir, Lamongan seharusnya memiliki ambulance khusus untuk penanganan pasien korban banjir. Hal tersebut disampaikan Prof Aryono D Pusponegoro (Aryo) Ketua Majelis Kolegium Ilmu Bedah pada Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) dalam Symposium Disaster Management and Hospital Preparedness for Emergency and Disaster (HOPE) di Aula Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan (RSML), Sabtu (15/11).
    Menurutnya, banyak orang Indonesia yang mati sia-sia karena tidak siap ketika bencana terjadi, baik bencana alam maupun bencana sosial seperti kecelakaan lalu lintas. Prof Aryo sendiri menyebut kecelakaan lalu lintas ini dengan silence disaster. "Kalau kita panggil makanan cepat saji untuk diantar, dalam 10 atau 15 menit pasti sudah datang. Berbeda dengan ambulance. Karena itu banyak korban kecelakaan yang meningal dalam perjalanan karena kurang cepat mendapat penanganan, bahkan pasien sering hanya diangkut dengan kendaraan umum karena ambulance lambat datang. Ini terjadi hanya karena kita tidak memiliki system yang memadai. Pertanyaannya sekarang, apakah nyawa manusia itu lebih murah harganya dibanding sepotong daging ayam, " kata dia.
    Dari data kecelakaan lalu lintas sejak 1999 hingga 2004 di Jakarta saja, lanjut dia, dari laporan polisi sejumlah 1753 orang meninggal dunia di tempat kejadian. Namun dari laporan Universitas Indonesia, sejumlah 6778 orang meninggal dunia. "Ini mungkin sekali terjadi karena pasien meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit, " tukasnya.
    Tidak bekerjanya system kegawatdaruratan juga dicontohkan Profesor Aryo ketika gempa terjadi di Bantul/Jogjakarta. Karena tidak siapnya system, pasien harus dirawat diluar rumah sakit dan dari 18 rumah sakit yang ada hanya 8 diantaranya yang siap dengan 53 kamar operasi. Tindakan pembedahan pada pasienpun baru bisa sukses dikerjakan ketika 300 dokter spesialis dari berbagai penjuru Indonesia membantu di Bantul sehingga bisa menyelesaikan sekitar 3000 operasi.
    "Begitu pula pada penanganan gempa di Bengkulu. Dua kali kena gempa bumi pada tahun 2000 dan 2007, dua kali itu pula penanganannya tidak siap. Ini karena sistemnya tidak pernah dibenahi. Saya percaya kalau ada gempa yang ketiga kalinya, penanganannya pasti sama. Karena sampai sekarang tidak ada pembenahan system. Beda dengan penanganan Bom Bali. Ketika Bom Bali pertama, penanganan benar-benar kacau. Namun pada peristiwa Bom Bali kedua, semua lebih siap (almost perfect) karena sudah ada safe community. Mulai ambulance, perawat, dokter hingga medical dan management support rumah sakit telah siap dan terlatih, " tuturnya.
    Sebelumnya, Sekkab Lamongan Fadeli sebelum membuka simposium tersebut mengakui bahwa Lamongan memang daerah rawan banjir. Karena itu Pemkab telah mengupayakan berbagai usaha untuk meminimalisirnya. Diantaranya dengan pembangunan Babat Barrage serta pengerukan embung dan waduk-waduk desa. Namun penanganan bencana tidak bisa ditangani pemerintah daerah sendiri, namun juga dari pemerintah pusat.
    Symposium tingkat Jawa Timur yang diikuti Camat se Kabupaten Lamongan, Ormas, Satkorlak dan BP Muhammadiyah se Kabupaten Lamongan itu juga dihadiri Direktur RSML Dr Faisol Ama, PDM Lamongan KH Abdul Fatah, Majlis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (MKKM) PDM Lamongan M Shohib dan dr Corona Rintawan, HOPE Area Manager Lamongan. Diantara materi simposium tersebut yakni, day to day emergencies, kegawatdaruratan fasilitas kesehatan dan engineering, mass casualty incident, hospital disaster plan dan Emergency department concepts of operations.
    

Tidak ada komentar: