Rabu, 10 Juni 2009

UU KDRT Tidak Hanya Melindungi Perempuan

Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi fenomena sosial yang sering terjadi di semua lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi tinggi maupun bawah. Secara umum kekerasan dalam rumah tangga bisa dialami oleh siapa saja baik itu perempuan maupun laki-laki. Tidak bisa dipungkiri bahwa korban kekerasan terbesar menimpa pada perempuan. Berdasarkan data yang ditulis oleh KOMNAS PEREMPUAN yang dimuat dalam “Peta Kekerasan Perempuan Indonesia”,
Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi fenomena sosial yang sering terjadi di semua lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi tinggi maupun bawah. Secara umum kekerasan dalam rumah tangga bisa dialami oleh siapa saja baik itu perempuan maupun laki-laki. Tidak bisa dipungkiri bahwa korban kekerasan terbesar menimpa pada perempuan. Berdasarkan data yang ditulis oleh KOMNAS PEREMPUAN yang dimuat dalam “Peta Kekerasan Perempuan Indonesia”, 1997-1998 terdapat 140 kasus diantaranya 82 kekerasan berdimensi ekonomi, hampir semuanya mengalami mengalami kekerasan mental, 27 perempuan mengalami kekerasan fisik, 41 perempuan mengalami kekerasan seksual. Di NTT ada 140 kasus sebagimana dikutip oleh buku tersebut dari Harian Umum Pos Kupang, Di Aceh dari 76 responden terdapat 37 yang mengaku mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Laporan LNH APIK Pontianak terdapat 25 kasus pengaduan. Jika ditinjau dari akibat hukum oleh adanya hubungan hukum perkawinan, seharusnya tidak asing bagi mereka suami/istri yang hidup berumah tangga dituntut untuk memenuhi hak dan kewajibannya seperti yang tertera dalam akta nikah sebagaimana yang diatur dalam UU nomor 1 tahun 1974. Namun tidak ada suatu peraturan perundang-undangpun di Indonesia yang bisa menjatuhkan sanksi baik pidana maupun denda terhadap tidak dipenuhinya kewajiban hukum oleh suami/istri, baik kebutuhan batin, fisik mauapun ekonomi keluarga.

Sejauh ini penanganan segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga hanya menjadi urusan domestik setiap rumah tangga. Artinya, negara dilarang campur tangan ke ranah domestik warga negaranya. Seberat apapun penderitaan yang menimpa korban, anggota rumah tangga itu pula yang berhak untuk atau tidak untuk menyelesaikannya. Namun dalam kenyataannya kekerasan dalam rumah tangga tidak jarang menimbulkan akibat penderitaan yang serius bagi korban bahkan sampai menimbulkan matinya korban. Budaya masyarakat yang menstigma bahwa pertengakaran, kekerasan oleh anggota keluarga adalah aib yang harus ditutup rapat, secara tidak langsung ikut melanggengkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Belum lagi kontruksi sosial yang menempatkan perempuan/ anak pada kelompok masyarakat rentan, ketidakberdayaan mereka semakin menempatkan mereka pada posisi yang terpuruk. Olehkarena itu, sebagai salah satu negara perativikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW), maka negara wajib memberikan penghormatan (how to respect), perlindungan (how to protect) dan pemenuhan (how to fulfill) terhadap hak asasi warga negaranya terutama hak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan serta diskriminasi. Terlebih lagi dalam beberapa pasal dalam UUD 1945 pasca amanedemen II, pengaturan hak asasi manusia sudah sangat kongkrit sebagimana yang dimaksud dalam 28A, ps. 28 B, Pasal 28D ayat 1 dan ayat 2, Pasal 28 E, Pasal 28G, Pasal 28H,Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29, juga UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Oleh karena itu Undang-undang anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan, meminimalisir, menindak pelaku kekerasan, bahkan merehabilitasi korban yang mengalami kekerasan rumah tangga.

Pasca disahkannya UU nomor 23 Tahun 2004 dan dinyatakan berlaku efektif sejak 22 september 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sosialisasi yang dilakukan pemerintah masih sangat kurang. Dampaknya, banyak asumsi-asumsi yang lahir dari ketidakpahaman tentang pengaturan dalam UU tersebut baik dari kalangan masyarakat secara luas maupun terhadap aparat dan penegak hukum. Salah satunya adalah prejudice bahwa UUKDRT hanya untuk melindungi perempuan. Sehingga secara umum masyarakat menjadi sangat apatis terhadap UU tersebut. Namun jika kita secara cermat menelaah ketentuan-ketentuan UU tersebut, tentunya sikap apatis ini sangat tidak beralasan. Oleh karenanya, segala bentuk sosialisasi sangat diperlukan sehingga UU ini tidak hanya hitam di atas putih saja. Pertama, bahwa pengertian korban yang dimaksud oleh UU ini dan harus dilindungi adalah anggota keluarga yang timbul dan lahir karena hubungan perkawinan (istri/suami/anak) atau Keluarga non inti (lihat ps. 2 (1)c. atau : orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga (hubungan darah/perkawinan/pengasuhan/perwalian) atau Anggota rumah tangga lainnya (yang menetap dalam rumah tangga/ yang bekerja dalam rumah tangga) atau anggota rumah tangga lainnya seperti pembantu pengertian “rumah tangga” dalam UU aquo cakupannya sangat luas sehingga tentu saja tidak hanya untuk melindungi perempuan/ istri tetapi juga anggota keluarga lainnya bahka mereka yang tidak memiliki pertalian darah tetapi telah lama hidup bersama keluarga atau bekerja dalam rumah tangga tersebut dan tak terkecuali suami. Sebab, fakta dilapangan menunjukan bahwa suami, anak, atau pembantu rumah tangga juga bisa mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, bahwa bentuk kekerasan yang dimaksud oleh UU aquotidak hanya kekerasan kasat mata atau kekerasan fisik, tetapi juga termasuk kekerasan ekonomi, amupun kekerasan psikis. Berdasarkan ketentuan ps. 1 ayat (1) UU aqou,

kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Yang dimaksud sebagai kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku yang dapat menimbulkan luka baik sementara maupun cacat permanen. Sedangkan kekerasan ekonomi adalah sebuah bentuk kekerasan seperti penelantaran keluarga berupa tidak memberi nafkah selama 6 bulan berturut-turut atau lebih. Sementara kekerasan psikis adalah kekerasan yang berakibat penderiataan atau gangguan mental kepada seseorang, seperti perkataan yang menyakiti perasaan, tidak manusia ataupun pelecehan-pelecehan yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa fakta dilapangan menunjukan korban terbesar dari kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan baik dia sebagai istri /anak perempuan/ maupaun orang yang bekerja dalam rumah tangga, sehingga ketidakberdayaan ini menjadikan kekerasan itu terusa berlangsung, sampai-sampai bunuh diri adalah jalan terbaik untuk mengakhiri penderitaan yang mereka alami. Namun bukan berarti suami/ anak laki-laki/ atau anggota keluarga laki-laki tidak pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Lagi-lagi konstruksi sosial yang menempatkan mereka pada posisi teratas, memunculkan rasa “overestimate”/ bahkan malu jika kekerasan yang mereka alami harus diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, sesungguhnya UU ini lahir untuk kedua-duanya baik melindungi hak laki-laki mupun perempuan bahkan anak-anak secara seimbang.

Yang menjadi persolan adalah bagimana UU ini bisa diterapkan? Pertama, bahwa kejahatan yang dikonsturksikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga oleh UU ini meskipun mereduksi kepentingan domestik menjadi urusan negara juga, namun kejahatan ini masih mensyaratkan adanya pengaduan dari korban (delik aduan-vide Ps.51). Artinya bahwa, tanpa adanya pengaduan dari korban, polisi selaku penyidik tidak dapat menerapka aturan-aturan dalam UU ini secara otomatis. Namun ada sedikit kemajuan bahwa “pengaduan” yang dimaksud dalam UU ini tidak harus dilakukan secara langsung oleh korban, bahkan bisa dikuasakan kepada anggota keluarganya maupun orang lain sepanjang mendapat kuasa dari korban. Sekalipun prasyarat “kuasa dari korban” sedikit membatasi (terutama bagi korban yang berasal dari masyarakat awam, buta huruf, anak-anak, orang tua dsb), namun sesungguhnya dalam UU ini tidak ada sebuah keharusan bagi korban bahwa pemberian kuasa itu harus dalam bentuknya yang tertulis. Artinya bahwa kuasa lisanpun dapat dilakukan. Yang lebih menggembirakan adalah bahwa dimungkinkannya pihak lain seperti kuasa hukum, maupun pihak pendamping/relawan yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat /lembaga Sosial untuk memberikan perlindungan sementara ketika korban mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Konsep delik aduan ini sesungguhnya merupakan pengakuan atau penghormatan negara terhadap hak-hak sipil (civil rights) dalam melangsungkan kehidupan pribadinya tanpa campur tangan negara. Artinya bahwa, sangat dimungkinan setiap masalah yang terjadi dalam rumah tangga setiap warga negara bisa diselesaikan sendiri oleh keuarga itu sendiri. Namun bukan berarti penyelesaian masalah harus dengan kekerasan. Sebab sesungguhnya tindakan kekerasan terhadap siapapun adalah pengingkaran dari hak-hak sipil itu sendiri. Bahkan berdasarkan Covenan on Civil and Political Rights, hak hidup, hak atas rasa aman, hak berkeluarga beserta turunannya yang lain adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurang-kurangi (underogable rights) atas alasan apapun juga termasuk alasan “ikatan perkawinan”. Dengan demikian, tindakan negara yang melindungi seseorang dari kekerasan yang menyerang hak-hak tersebut adalah sah. Selain itu, UU ini juga tidak menyebutkan tentang kadaluwarsa kapan waktu pelaporan atau pengaduan seharusnya dilakukan oleh korban atau orang lain yang menerima kuasanya. Hal ini mengandung pengertian bahwa kapanpun perbuatan atau KDRT terjadi maka sewaktu-waktu atau kapan saja korban dapat melaporkan perbuatan pelakunya. Karena sesungguhnya KDRT menurut UU ini berorientasi pada akibat yang ditimbulkan setelah perbuatan tersebut dilakukan.

Kedua, bahwa UU ini selangkah lebih maju dalam hal melindungi hak-hak korban. Terbukti dengan aturan yang memungkinkan korban mendapat pendampingan baik dari pihak keluarga, kuasa hukum, kepolisian, kehaksaan, bahkan pengadilan atau Lembaga Sosial konsen terhadap hak-hak korban. Selain itu selambatnya 7 hari sejak kepolisian menerima laporan adanya kekerasan, polisi wajib membuat surat penetapan perlindungan sementara (ps. 10 jo ps. 20) kepada korban ke Pengadilan diwilayah hukum korban. Penepan Pengadilan ini yang akan menjadi dasar bagi pemulihan hak-hak korban, termasuk pengobatan jika terjadi luka-luka, pembimbingan oleh rohaniawan atau psikiater (dalam hal terjadi keguncangan mental), pemberian onformasi tentang hak-hak korban oleh advokad ataupun rehabilitasi kondisi psikis dari korban. Sebuah hubungan sinergis diharapkan tercipta antara Advokad atau kuasa hukum yang menangani, Lembaga sosial, kesehatan, psikiater dan kepolosian dalam menangani kasus ini. Dengan demikian UU ini tidak hanya berorientasi pada penghukuman bagi pelaku namun juga bagaimana melindungi/ memulihkan dan atau memenuhi hak-hak korban sesegera mungkin.

Ketiga, bahwa dalam hal persidangan KDRT ini digelar dimana secara umum Hukum Acara Pidana mensyaratkan “cukup bukti” yaitu minimal 2 alat bukti (bisa berupa bukti tertulis, saksi, petunjuk, keterangan ahli) untuk dapat membuktikan seseorang bersalah atau tidak, maka model pembuktian yang diisyaratkan oleh UUKDRT jauh lebih maju. Dimana “ullus testis nullus testis/ satu saksi bukan saksi” menjadi tidak berlaku dalam kasus ini. Artinya bahwa asas ‘satu alat bukti’ saja sudah cukup (vide Ps. 55) (misalnya hasil visum et repertum) untuk membuktikan ada tidaknya kekerasan dalam rumah tangga sangat membantu bagi kepentingan korban. Dengan demikian, alat bukti lain yang diperlukan hanya bersifat membantu memberikan keyakinan bagi hakim dan bukan suatu syarat yang mutlak. Bahkan dalam hal pembuktian, hakim juga harus memperhatikan hak-hak psikologis dari korban sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seyogyanya tidak memperparah kondisi korban.

Sementara itu, dari aspek pemidanaan, UU ini juga lebih memberikan kepastian hukum, dimana baik ancaman pidana atau denda yang diatur bukan saja ancaman pidana/ denda maximal melainkan juga ancaman pidana/denda minimal. Hal ini dapat meminimalisir peluang-peluang saling lirik antara para aparat penegak hukum hukum hanya karena kepentingan sepihak.

Tidak ada komentar: